Memperbanyak Film di Dunia Internet
Di Indonesia banyak sekali masyarakat yang
masih belum peduli mengenai Hak Cipta (Copy
Right) akan suatu produk. Salah satu produk yang sering disalahgunakan hak
ciptanya adalah Film. Banyak diantara masyarakat di Indonesia yang masih melakukan
pembajakan pada film-film yang dijual dipasaran. Hal tersebut dapat terjadi,
karena dengan melakukan pembajakan seseorang tersebut dapat menonton film
dengan baik tanpa harus mengeluarkan uang untuk membayar film tersebut. Padahal,
seperti yang kita ketahui bahwa dunia perfilman di Indonesia juga mempunya UU
Hak Cipta, namun karena ketidaktegasan Pemerintah dalam memberantas masalah
ini, masyarakat menjadi tidak jera untuk melakukan tindak pembajakan pada film.
praktek pelanggaran hak cipta yang sering dilakukan
oleh masyarakat dan masyarakat tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka
lakukan adalah bentuk dari pelanggaran hak cipta.
Jika praktek pembajakan film diteruskan seperti ini, maka
akan membunuh kreatifitas pembuat film. Pembuat film pun akan enggan untuk membuat cerita karena hasil
karyanya selalu dibajak sehingga dia merasa dirugikan baik secara moril maupun
materil. Pembuat film mungkin akan memilih profesi lain yang lebih menghasilkan
materi.
Menurut Pasal
2 ayat (1) UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC), Hak
Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Di
dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUHC tersebut
dijelaskan :
“Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah
hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak
lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.
Dalam
pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan menerjemahkan,
mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan,
meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik,
menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada
publik melalui sarana apa pun.”
Di
dalam penjelasan umum UUHC juga disebutkan, Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi
(economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi
adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak
Terkait. Hak moral yakni hak pencipta untuk menuntut dicantumkan nama atau nama
samarannya di dalam karyanya ataupun salinannya dalam hubungan dengan
penggunaan secara umum. Berdasarkan
UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 12 ayat (1)
huruf K, salah satu ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra
yang dilindungi hak cipta adalah sinematografi. Di dalam penjelasan pasal
tersebut yang dimaksud dengan sinematografi merupakan media komunikasi massa
gambar gerak (moving images) antara
lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang
dibuat dengan skenario, dan film kartun yang dapat dibuat dalam pita seluloid,
pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan
untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi
atau di media lainnya.
Perlindungan
hak cipta atas film menjadikan pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak
untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya
menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial (Pasal 2
ayat (2) UUHC). Masa berlaku perlindungan hak cipta atas film adalah 50 tahun
sejak pertama kali diumumkan (Pasal 30 ayat (1) UUHC). Walaupun film tersebut
film asing, ketentuan perlindungan Hak Cipta dalam UUHC dapat berlaku bila
(Pasal 76 UUHC):
1. Film
tersebut diumumkan untuk pertama kali di Indonesia
2. Negara
asal film tersebut mempunyai perjanjian bilateral mengenai perlindungan Hak
Cipta dengan Negara Republik Indonesia; atau
3. Negara
asal film tersebut dan Negara Republik Indonesia merupakan pihak atau peserta
dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai perlindungan Hak Cipta
Menanggapi kasus pelanggaran hak
cipta diatas, terlihat bahwa kurangnya kesadaran masyarakat dalam menghargai
hasil karya orang lain dan kurangnya kesadaran hukum dikalangan masyarakat saat
ini, yang memungkinkan masyarakat luas tersebut melakukan pelanggaran dengan
cara membajak atau mengcopy sepenuhnya tanpa memperoleh izin dari pemegang hak
cipta. Akibat dari pelanggaran hak cipta tersebut adalah merusak kreativitas
seseorang yang menciptakan.
Pencipta merasa dirugikan baik
secara moril maupun materil karena hasil karyanya selalu dibajak. Pemerintah
harus dapat memberikan sanksi tegas bagi mereka yang dengan sengaja atau tanpa
hak melanggar hak cipta orang lain dapat dikenakan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Menurut saya, solusi yang perlu
diterapkan yaitu perlunya ditanamkan kesadaran kepada masyarakat agar tidak
dengan mudahnya membajak hasil karya orang lain atau pencipta dan
diberlakukannya hokum yang tegas dalam melakukan pebajakan. Kesadaran tersebut
tentu tidak akan tumbuh apabila tidak dibarengin dengan sanksi yang tegas dan
berat agar menimbulkan efek jera bagi masyarakat yang melanggarnya.
Sumber:
2.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509b40da6ae66/ancaman-hukuman-bagi-pengunduh-film-bajakan