Jumat, 15 April 2016

Hak Cipta

Memperbanyak Film di Dunia Internet

   Di Indonesia banyak sekali masyarakat yang masih belum peduli mengenai Hak Cipta (Copy Right) akan suatu produk. Salah satu produk yang sering disalahgunakan hak ciptanya adalah Film. Banyak diantara masyarakat di Indonesia yang masih melakukan pembajakan pada film-film yang dijual dipasaran. Hal tersebut dapat terjadi, karena dengan melakukan pembajakan seseorang tersebut dapat menonton film dengan baik tanpa harus mengeluarkan uang untuk membayar film tersebut. Padahal, seperti yang kita ketahui bahwa dunia perfilman di Indonesia juga mempunya UU Hak Cipta, namun karena ketidaktegasan Pemerintah dalam memberantas masalah ini, masyarakat menjadi tidak jera untuk melakukan tindak pembajakan pada film. praktek pelanggaran hak cipta yang sering dilakukan oleh masyarakat dan masyarakat tidak menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah bentuk dari pelanggaran hak cipta.
Jika praktek pembajakan film diteruskan seperti ini, maka akan membunuh kreatifitas pembuat film. Pembuat film pun  akan enggan untuk membuat cerita karena hasil karyanya selalu dibajak sehingga dia merasa dirugikan baik secara moril maupun materil. Pembuat film mungkin akan memilih profesi lain yang lebih menghasilkan materi.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (UUHC), Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUHC tersebut dijelaskan :
“Yang dimaksud dengan hak eksklusif adalah hak yang semata-mata diperuntukkan bagi pemegangnya sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya.
 Dalam pengertian “mengumumkan atau memperbanyak”, termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen, mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor, memamerkan, mempertunjukkan kepada publik, menyiarkan, merekam, dan mengkomunikasikan Ciptaan kepada publik melalui sarana apa pun.”
Di dalam penjelasan umum UUHC juga disebutkan, Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak moral yakni hak pencipta untuk menuntut dicantumkan nama atau nama samarannya di dalam karyanya ataupun salinannya dalam hubungan dengan penggunaan secara umum. Berdasarkan UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pasal 12 ayat (1) huruf K, salah satu ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dilindungi hak cipta adalah sinematografi. Di dalam penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan sinematografi merupakan media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi: film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun yang dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, di layar lebar atau ditayangkan di televisi atau di media lainnya.
Perlindungan hak cipta atas film menjadikan pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak untuk memberikan izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan Ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial (Pasal 2 ayat (2) UUHC). Masa berlaku perlindungan hak cipta atas film adalah 50 tahun sejak pertama kali diumumkan (Pasal 30 ayat (1) UUHC). Walaupun film tersebut film asing, ketentuan perlindungan Hak Cipta dalam UUHC dapat berlaku bila (Pasal 76 UUHC):
1.   Film tersebut diumumkan untuk pertama kali di Indonesia
2. Negara asal film tersebut mempunyai perjanjian bilateral mengenai perlindungan Hak Cipta dengan Negara Republik Indonesia; atau
3.  Negara asal film tersebut dan Negara Republik Indonesia merupakan pihak atau peserta dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai perlindungan Hak Cipta
Menanggapi kasus pelanggaran hak cipta diatas, terlihat bahwa kurangnya kesadaran masyarakat dalam menghargai hasil karya orang lain dan kurangnya kesadaran hukum dikalangan masyarakat saat ini, yang memungkinkan masyarakat luas tersebut melakukan pelanggaran dengan cara membajak atau mengcopy sepenuhnya tanpa memperoleh izin dari pemegang hak cipta. Akibat dari pelanggaran hak cipta tersebut adalah merusak kreativitas seseorang yang menciptakan.
Pencipta merasa dirugikan baik secara moril maupun materil karena hasil karyanya selalu dibajak. Pemerintah harus dapat memberikan sanksi tegas bagi mereka yang dengan sengaja atau tanpa hak melanggar hak cipta orang lain dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). 
Menurut saya, solusi yang perlu diterapkan yaitu perlunya ditanamkan kesadaran kepada masyarakat agar tidak dengan mudahnya membajak hasil karya orang lain atau pencipta dan diberlakukannya hokum yang tegas dalam melakukan pebajakan. Kesadaran tersebut tentu tidak akan tumbuh apabila tidak dibarengin dengan sanksi yang tegas dan berat agar menimbulkan efek jera bagi masyarakat yang melanggarnya.

Sumber: